Social Icons

Minggu, 21 Desember 2014

PENDIDIKAN PROFETIK

A. Pengertian Profetik

Kata “profetik” berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan, mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Menurut Ali Syari’ati dalam Hilmy (2008:179) para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan.

Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada (Kuntowijoyo, 2001: 357).

Selanjutnya, Kuntowijoyo (2001:357) memasukan kata profetik kedalam penemuannya tentang ilmu-ilmu sosial profetik yang mengandung tiga muatan ilmu-ilmu sosial yaitu humanisme, leberasi, dan transendensi.

Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo didasarkan pada Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya:

Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan/dilahirkan ditengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah

Dari ayat tersebutlah dasar ketiga pilar nilai ilmu sosial profetik yang digunakan oleh Kuntowijoyo yaitu; 1) Amar Ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. 2) Nahi Munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. 3) Tu’minuna Bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia (Rosyadi, 2009:304).

Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep pendidikan profetik menurut Kuntowijoyo (2001:360);



Pertama, konsep tentang umat terbaik (The Chosen People), yang menjelaskan bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Umat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena umat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah yang dapat di artikan sebagai sikap bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah umat manusia (Ukhrijat Linnas) yang terwujud dalam sikap partisipatif umat islam dalam percaturan sejarah. Oleh karenanya pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat, terutama umat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, umat, kelompok/paguyuban) Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya.

Selanjutnya, Shofan (2004:131) mengungkapkan konseptualisasi pilar-pilar ilmu sosial profetik pada dasarnya berangkat dari paradigma pendidikan yang berusaha melakukan sintesa antara sistem pendidikan yang konsen terhadap nilai-nilai moral dan religius dengan sistem pendidikan modern yang mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dualisme sistem pendidikan yang dikotomis yang dalam konteks Indonesia merupakan dua sisi diametrikal antara pendidikan ala barat yang dinasionalisasi dan pendidikan ala timur yang sudah secara historis telah ada sejak nenek moyang. Pendidikan profetik dapat dikembangkan dalam tiga dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.

Lebih lanjut Kuntowijoyo dalam Shofan (2004:135) mengatakan bahwa cita-cita etik dan profetik inilah yang seharusnya diderivasikan dari nilai-nilai yang mengakar pada budaya, ajaran agama dan nilai-nilai moral bangsa sehingga pencapaian cita–cita pendidikan tidak mengorbankan jati diri bangsa. Artinya sistem pendidikan harus memberikan pemahaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi tugas pendidikan untuk melakukan reorientasi konsep-konsep normatif agar dapat dipahami secara empiris.

Landasan pendidikan tersebut sekiranya diorientasikan untuk memfasilitasi terbentuknya kesadaran ilmiah dalam memformulasikan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis. Pendekatan deduktif-induktif idealnya diterapkan dalam pembelajaran pengetahuan umum dan pendidikan moral, hal ini lah konsep dasar sebuah pendidikan profetik yang dibutuhkan pada saat ini.

Sehingga disimpulkan bahwa, pendidikan profetik (Prophetic Teaching) adalah suatu metode pendidikan yang selalu mengambil inspirasi dari ajaran nabi Muhammad saw. Prinsip dalam pendidikan profetik yaitu mengutamakan integrasi. Dalam memberikan suatu materi bidang tertentu juga dikaitkan dengan landasan yang ada di Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga tujuan baik duniawi maupun akhirat dapat tercapai.

B. Tujuan Pendidikan Profetik

Selain, mempunyai tujuan humanitis, liberalis, dan transedensi, pada dasarnya tujuan umum pendidikan Islam, menurut Prof. M. Athiyah Al-Abrasyi dalam Rosyadi (2009:162) menyimpulkan lima tujuan umum yang asasi. Diantaranya yaitu;

Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Pendidikan Islam menaruh penuh untuk perhatian kehidupan tersebut, sebab memang itulah tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan.
Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Islam memandang, manusia sempurna tidak akan tercapai kecuali memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama, atau mempunyai kepedulian (concern) pada aspek spiritual, akhlak dan pada segi-segi kemanfaatan.
Menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu sekedar ilmu.
Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan suapaya dapat menguasai profesi tertentu dan perusahaan tertentu agar dapat mencari rezeki.
Sebagai kekuatan pembebas, Pendidikan Islam berusaha untuk membangun social capacity yang mengandung makna bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi (Rosyadi,2009:163).

Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan moral-transendensi.

Selanjutnya, Rosyadi (2009:170) mengungkapkan bahwa selain sebagai pendorong agama dan ahlak tujuan pendidikan profetik juga mempunyai tujuan khusus yaitu diantaranya:

Memperkenalkan generasi muda akan akidah-akidah islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadat, dan cara-cara melaksanakannya dengan betul, dengan membiasakan mereka berhati-hati, mematuhi akidah-akidah agama dn serta menjalankan serta menghormati syiar-syiar agama.
Menumbuhkan kesadaran yang betul pada pelajar terhadap agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar ahlak mulia. Juga membuang bid’ah-bid’ah, khurafat, kepalsuan-kepalsuan, dan kebiasaan-kebiasaan usang yang melekat kepada islam tanpa disadari, padahal islam itu bersih.
Menambah keislaman kepada Alla pencipta alam, juga kepada malaikat, rosul-rosul, kitab-kitab, dan hari akhir berdasar pada faham kesadaran dan keharusan perasaan.
Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambahkan pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan agar patuh mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
Menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada al-Qur’an, berhubungan dengannya, membaca dengan baik, memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
Menumbuhkan rasa bangga terhadap sejarah dan kebudayaan islam dan pahlawan-pahlawannya dan mengikuti jejak mereka.
Menumbuhkan rasa rela, optimisme, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan taqwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, perjuangan untuk kebaikan, memegang teguh pada prinsip, berkorban untuk agama dan tanah air, serta siap membelanya.
Mendidik naluri, motivasi, keinginan generasi muda, dan membentengi mereka menahan motivasi-motivasinya, mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik. Begitu juga mengajar mereka, berpegang dengan adab kesopanan pada hubungan dan pergaulan mereka, baik di rumah, di sekolah, di jalan atau pada lain-lain tempat lingkungan.
Menanamkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka, menguatkan perasaan agama, menyuburkan hati mereka dengan kecintaan, dzikir dan taqwa kepada Allah.
Membersihkan hati mereka dari dengki, iri hati, benci, kezaliman, egoisme, tipuan, khianat, nifaq, ragu, perpecahan dan perselisihan.
C.  Metode dalam Pendidikan Profetik

Dalam rangka mencapai tujuannya maka pendidikan profetik menggunakan beberapa metode, menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1992) dalam Rosyadi (2009:216), sebagai berikut:

1. Metode Hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi

Hiwar artinya percakapan silih berganti antara dua pihak melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah pada suatu tujuan. Dalam Al Qur’an dan sunnah terdapat lima jenis hiwar diantaranya:

a. Hiwar khitabi atau ta’abbudi (percakapan pengabdian).

Dalam hal ini, hiwar yang dilakukan yaitu dalam bentuk doa, membaca al Qur’an, tasbih, dll.

b. Hiwar washfi (percakapan deskriptif)

Hiwar ini menjelaskan bagaimana suatu hal itu terjadi diterangkan secara deskriftif seperti orang yang masuk surga atau orang yang masuk neraka.

c. Hiwar qishashi (percakapan berkisah)

Hiwar ini terdapat dalam sebuah kisah yang baik bentuk rangkaian ceritanya sangat jelas, yaitu hiwar yang merupakan anasir kisah di dalam al Qur’an.

d. Hiwar jadali (percakapan dialetik)

Hiwar ini melahirkan sebuah diskusi atau perebatan yang bertujuan untuk memantapkan hujjah kepada para peserta diskusi. Sehingga implikasinya mendidik anak bersemangat menegakkan kebenaran, menjauhkan dari sifat-sifat batil, pikiran-pikiran musyrik dan munkar.

e. Hiwar nabawi .

Hiwar nabawi ini erat kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh Rasullulah SAW, karena beliau adalah salah seorang pendidik yang mahir dan pandai dalam melakukan beberapa metode pendidikan islam.

Mendidik dengan kisah Qurani dan Nabawi

Dalam pendidikan islam, kisah merupakan fungsi edukatif yang tidak dapat dihilangkan atau diganti dengan bentuk penyampaian lain selain bahasa. Hal ini di sebabkan karena kisah Qurani dan Nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang mempunyai dampak psikologis dan edukatif.

2. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi

Perumpamaan dalam pendidikan islam sering digunakan biasanya perumpamaan yang digunakan berasal dari cerita di al Qur’an ataupun dari kisah nabi, misal perumpamaan seorang yang berbuat baik, maka akan mendapatkan pahala.

3. Mendidik dengan memberi teladan

Keteladanan adalah sangat penting bagi berlangsungnya suatu proses pendidikan. Hal ini menekankan kepada setiap pendidik harus berprilaku baik dan selalu meneladani sifat-sifat rasul sehingga peserta didik pun akan segan dan akan meneladani sikap.

4. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.

Mendidik dengan latihan dan pengalaman dapat menggugah ahlak yang baik pada jiwa anak didik, sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang sukses dalam perbuatan dan pekerjaan.

5. Mendidik dengan mengambil Ibrah (pelajaran) dan mau’izhah (peringatan)

Makna ibrah adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya. Sedangkan, mau’izhah ialah nasehat yang lembut dapat diterima oleh hati dengan cara mencelaskan pahala atau ancamannya.

6. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).

Targhib ialah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat orang senang terhadap suatu maslahat, kenikmatan atau kesenangan akhirat yang pasti dan baik, serta bersih dari segala kotoran yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal saleh dan menjauhi kenikmatan sepintas yang mengandung bahaya atau perbuatan buruk. Sedangkan, tarhib ialah ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah SWT, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Sekiranya metode tersebut dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran akan membuat anak didik menjadi orang yang berahlakul karimah atau berahlak mulia seperti Rasulluah SAW.

Sementara itu, menurut Cecep Darmawan (2006:94), metode dalam pembinaan dan pelatihan karyawan yang berbasis profetik sebagai berikut:

1. Metode Tilawah

Metode ini memilik makna membaca. Metode ini diarahkan untuk membaca al Qur’an. Dengan begitu akan terciptanya pembudayaan membaca al Qur’an.

2. Metode Taklim

Metode ini berartikan proses pengajaran. Taklim disini dalam arti pemahaman kita dalam proses tranfer dan tranformasi dari pihak pertama kepada pihak kedua. Sementara itu dalam konsep pembinaan maka dalam kaitannya pembekalan teori, nilai-nilai, kiat-kiat sukses, kiat kinerja produktif, aturan, atau tata tertib yang berlaku pada lingungan perusahaan.

3. Metode Tazkiyyah

Kata tazkiyyah berasal dari kata “zaka” yang berarti tumbuh kembang atau penyucian. Konsep ini kita maknai sebagai satu kemampuan memisahkan atau membersihkan. Implikasinya adalah memberikan pelatihan dan pendidikan kepada karyawan dengan tujuan untuk melakukan eliminasi perilaku-perilaku buruk.

4. Metode Hikmah

Konsep hikmah, ditujukan untuk menunjukan pengetahuan filosofis sehingga orang yang berfilsafat disebut ahli hikmah.

Untuk daftar pustaka maaf saya tidak bisa menampilkannya, namun tulisan ini sekiranya dapat  bermanfaat,…aminn…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan sertakan kritik dan saran demi kebaikan kita semua

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates